Selasa, 26 Juli 2011

IBU

Alkisah ada seorang anak muda yang brilian dan sangat pintar. Dia baru saja lulus sarjana dengan predikat cum laude. Selama kuliah, dia juga mengoleksi beberapa penghargaan dan prestasi. Intinya, si anak muda ini benar-benar te-o-pe be-ge-te. Dan iapun bangga dengan kemilau prestasinya tersebut. Rasa pedenya begitu tinggi…

Setelah lulus, ia lalu mencari pekerjaan. Saat melamar ke sebuah perusahaan terkenal, tidak sulit baginya untuk lolos dari tes-tes saringan, hingga sampailah ia ke tahap terakhir: wawancara dengan Direktur perusahaan tersebut. Saat wawancara tiba, terjadilah dialog antara pak Direktur dengan si anak muda.

“Prestasimu sungguh luar biasa, anak muda. Bagaimana kamu bisa punya prestasi setinggi itu?”, tanya pak Direktur.

“Saya belajar keras, pak. Saya selalu memacu diri saya sendiri, dan memupuk kepercayaan diri saya.”, jawab si anak muda.

“Siapa yang mendorong dan memotivasimu? Ayahmukah?”

“Bukan pak. Ayah sudah meninggal sejak saya kecil. Saya terbiasa memotivasi diri sendiri untuk menjadi yang terbaik.”

“Kalau ayahmu sudah meninggal, siapa yang membiayai sekolahmu?”

“Ibu saya, pak.”

“Oh begitu…lalu apa pekerjaan ibumu?”

“Ibu saya menjadi pencuci baju, pak. Beliau menerima order cucian dari para tetangga.”

Mendengar jawaban si anak muda tersebut, pak Direktur lalu berkata,”Coba ulurkan tanganmu, anak muda”. Meski agak heran dengan permintaan ini, si anak muda lalu mengulurkan tangannya ke pak Direktur, yang lalu memeriksanya dengan cermat. Ternyata tangan itu bersih, putih, dan mulus. Tidak ada tanda-tanda pernah digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan kasar. Pak Direktur lalu bertanya,”Pernahkah kamu membantu ibumu mencuci pakaian, nak?”

“Tidak pak, tak pernah sekalipun.”

“Kalau begitu sekarang pulanglah, dan bila bertemu dengan ibumu, coba perhatikan dengan cermat tangan beliau. Lalu cobalah lakukan pekerjaan ibumu. Besok kamu kembali lagi ke sini, temui saya, dan ceritakan pengalamanmu.”, demikian pesan pak Direktur kepada si anak muda.

Pulanglah si anak muda tadi, dan sesampai di rumah, disampaikanlah kata-kata pak Direktur kepada ibunya. Meskipun agak heran, ibunya menurut saja dan menyorongkan kedua tangannya kepada anak yang disayanginya. Begitu melihat tangan orang tua tadi, kagetlah si anak. Ini adalah pertama kalinya ia mengamati tangan ibunya secara cermat. Tampaklah olehnya tangan yang keriput, kasar, dan bersisik. Di beberapa tempat bahkan terlihat bekas-bekas luka. Sungguh kontras bila dibandingkan dengan tangannya sendiri yang bersih dan mulus.

“Ibu….”, dan si anak mudapun tercekat tak mampu berkata apapun. Mengalirlah sebutir air matanya.

“Kenapa tangan ibu sampai begini? Ibu bekerja terlalu berat. Maafkan aku yang tak pernah tahu keadaan ibu seperti ini”, bisik si anak sambil membelai dan menciumi tangan ibunya.

Ibunya tersenyum saja. “Tidak apa-apa nak. Ibu ikhlas bekerja keras untukmu. Buat ibu, yang penting kamu bisa fokus belajar. Ibu bahagia akhirnya kamu bisa lulus dengan baik. Itu satu-satunya yang penting buat ibu.”

Mendengar ucapan ibunya, runtuhlah kebanggaan si anak muda. Hilanglah semua ke-aku-annya. Sampai detik itu ia merasa bahwa semua prestasinya adalah usahanya sendiri. Kenyataannya, tanpa pengorbanan ibunya, dia tidak akan menjadi apa-apa. Nothing…

Dia merasa seperti semakin terlempar ke titik nadir setelah mencoba melakukan permintaan pak Direktur berikutnya: mencuci pakaian, seperti yang biasa dilakukan ibunya. Ternyata bagi dia yang tidak pernah mencuci pakaian sendiri, pekerjaan merendam, mengucek, membilas, dan memeras sungguh tidak mudah dilakukan. Baru beberapa potong baju saja, tangannya sudah merasa perih.

Malam itu si anak muda tidak bisa tidur. Dunianya seolah dibalik dalam sekejap mata. Keyakinan dan persepsinya selama ini patah begitu saja setelah ia melihat apa yang telah dilakukan ibunya selama ini.

Keesokan harinya ia datang menghadap ke pak Direktur, yang langsung saja bertanya,”Apa yang kamu rasakan dan pikirkan, anak muda?”

Si anak muda menghela nafas, lalu menjawab sambil tertunduk,”Ada dua hal yang saya pelajari, pak…”

“Katakan nak, apa dua hal itu.”

“Yang pertama, saya sadar selama ini saya tidak pernah memperhatikan orang lain. Saya tidak pernah mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan, bahkan untuk hal-hal yang terkait dengan kepentingan saya sekaliapun…”, si anak muda menjawab sambil menahan air mata karena teringat akan ibunya. Lalu ia menyambung,

“Yang kedua, saya tidak pernah menyadari bagaimana beratnya mencapai sebuah tujuan. Selama ini saya merasa bahwa menjadi lulusan terbaik itu mudah. Saya pikir dengan belajar keras saja sudah cukup. Tapi ternyata tidak, pak... Ternyata banyak hal lain yang harus dilakukan, dan itu tidak pernah saya kerjakan, bahkan saya pikirkanpun tidak...Saya buta terhadap usaha-usaha lain yang dilakukan oleh ibu saya. Beliau bekerja begitu berat semata-mata hanya untuk kepentingan saya…“

Mendengar kata-kata si anak muda tadi, pak Direktur tersenyum. “Anak muda, kamu diterima di perusahaan ini.”

Si anak muda mendongak kaget.”Pak, apa maksud Bapak?”

“Aku tidak mencari karyawan yang pintar tapi tidak peduli pada sekelilingnya. Aku tertarik padamu bukan karena kepintaranmu saja, tapi pada kesadaranmu tentang sensitivitas pada sekelilingmu, tentang sulitnya mencapai sebuah tujuan dan pentingnya kerjasama, dan tentang pentingnya mengapresiasi dan menghargai apa yang dikerjakan orang lain.”

Mendengar penjelasan pak Direktur, si anak muda merasa ia hidup dalam dunia yang baru.





sumber: kaskus.us

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih atas kunjungannya ^_^